«

Film: Tanah Surga... katanya (2012)

»

Setelah meninggalnya istri tercinta, Hasyim, mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965, memutuskan tidak menikah. Ia tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya yang juga menduda, dan dua cucunya: Salman dan Salina. Hidup di perbatasan Indonesia dan Malaysia merupakan persoalan tersendiri bagi mereka, karena keterbelakangan pembangunan dan ekonomi.

Astuti, guru sekolah dasar di kota, datang tanpa direncanakan. Ia mengajar di sekolah yang hampir rubuh karena setahun tidak berfungsi. Tak lama berselang datang pula dr. Anwar, dokter muda yang datang karena tidak mampu bersaing sebagai dokter professional di kota.

Haris mencoba membujuk ayahnya untuk pindah ke Malaysia dengan alasan di sana lebih menjanjikan secara ekonomi dibandingkan tetap tinggal di wilayah Indonesia. Hasyim bersikeras tidak mau pindah. Baginya kesetiaan pada bangsa adalah harga mati.

Persoalan semakin meruncing ketika Hasyim tahu bahwa Haris ternyata sudah menikah dengan perempuan Malaysia dan bermaksud mengajak Salman dan Salina. Salman yang dekat dengan sang kakek memilih tetap tinggal di Indonesia.

Hasyim sakit. Dr Anwar berusaha memberikan perawatan dan obat yang lebih rutin. Namun, keterbatasan sarana dan obat, membuat kondisi Hasyim memburuk. Dr Anwar memutuskan untuk membawa Hasyim ke rumah sakit kota. Dengan uang hasil kerja Salman, Hasyim dibawa pakai perahu. Mereka berangkat ditemani oleh Astuti dan dr. Anwar. Di tengah perjalanan nyawa Hasyim tidak tertolong. Ia meninggal bersamaan dengan pekik dan sorak sorai Haris atas kemenangan kesebelasan Malaysia atas Indonesia.


Keyword: Andre Dimas Apri, Andriyanus Riyan, Anisa Putri Ranidita, Astri Nurdin, Brajamusti Films, Bustal Nawawi, Danial Rifki, Deddy Mizwar, Drama, Eko Adi Saputro,



Komentar